Kumpulan catatan temen-temen Facebook

6.17.2011

Dialog dua hati

oleh Dunia Biru Rinai pada 21 September 2010 jam 17:16

                                                                                                                          by: RZP



Matahari senja tampak anggun mempesona, memancarkan indah warna kuning ke emasan. Zhafira namanya, gadis manis yang sedari tadi menatap langit sore dalam diam, dipelataran rumahnya.

Raganya ada disana tapi tidak begitu dengan hati dan fikirannya. Fikirannya terbang mengangkasa, menembus ruang dan waktu. Ada sesuatu yang membuat hatinya terasa amat menyesakkan. Perlahan air mata mulai menetes dari matanya yang sahdu. Zhafira tetap diam, membisu. Dikeheningan itu, Ia teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu dengan seorang Ustadzah kenalannya, yang sudah Ia anggap seperti Kakak kandungnya sendiri.

“Kapan anti mau menikah, Sayang?” Tanya Ustadzah padanya

Sebuah pertanyaan sederhana namun sama sekali tak bisa Ia jawab dengan satu atau dua kata saja. Ada sesuatu yang belum terselesaikan perkara urusan hatinya. Karena itu, Zafhira hanya tersenyum dan menghela nafas panjang kemudian menjawab “Belum tau, Umi”

“kok belum tau? Gak punya rencana masa depan sayang?”

“Punya, Umi”

“Lalu?”

Zhafira tertunduk dan diam.

“Umi, ada sesuatu yang terjadi pada hati ana beberapa masa yang silam dan ana kesulitan untuk membenahinya, Umi”

“Apa itu? Boleh Umi tau? Jika anti berkenan membaginya”

“Umi, ana pernah jatuh hati pada seorang ikhwan dan punya harapan untuk menikah dengannya”

Umi tersenyum penuh kehangatan. Kini Ia tau, kenapa murid tersayangnya akhir-akhir ini selalu tampak murung dan tidak seaktif biasanya.

“Lalu? Bagaimana dengan kisah hatimu itu saat ini? Anti mau Umi melamarkannya untukmu?

Zhafira semakin tertunduk dalam. Lirih dia menjawab “Tidak bisa, Umi”

“Kenapa?” Umipun keheranan.

“karena dia….”

Kalimat itu terhenti. Tercegat ditengah kerongkongannya. Zhafira mulai terisak.

“Karena dia sudah memilih, Umi”

Air mata yang sedari tadi tertahan, menerobos keluar dengan bebasnya. Plong sudah, semua yang Ia pendam sendiri akhirnya bisa Ia bagi dengan orang yang dipercayanya. Mata ustadzahpun basah mendengar kalimat terakhir zhafira. Ia dekap erat muridnya itu, Ia pun membiarkan muridnya menangis meluapkan semua kesesakkan hatinya, yang selama ini Ia tanggung sendiri.

“Menangislah Sayang, karena wanita punya air mata sebagai sumber kekuatan. Air mata tanda ketegaran hatinya, air mata tanda hatinya halus dan mudah tersentuh. Begitu Alloh menciptakan kita untuk mudah menangis.”

Lama zhafira menangis dalam dekapan ustadzahnya. Sampai Ia benar-benar mampu melanjutkan ceritanya pada Ustadzah.

“Umi, ana tidak mempermasalahkan tentang hati ana yang terluka. Tapi yang membuat hati ana masih terasa sesak sampai sekarang adalah kebodohan ana sendiri”

Umi tersenyum. “lalu? Bagaiamana sekarang?”

“Dia sudah seperti Kaka kana sendiri, dari cara dia menasehati dan  memperhatikan ana. Awalnya tidak ada rasa apa-apa, Umi. Kemudian rasa itu datang. Ana berusaha membenahi hati, agar tak memiliki kecondongan padanya, Umi. Tapi selalu gagal. Sampai suatu ketika, ana mantap untuk mengatakan apa yang ana rasakan padanya setelah ana istikhoroh.” Zhafirah diam dan tak melanjutkan kata-katanya.

“Lalu apa jawabnya?”

Suara Umi memecahkan lamunannya.

“Dia hanya menjawab diplomatis, Umi. Dia bilang dari awal ana senang sekali bisa kenal dengan yang namanya Zhafira.”

“Senang belum berarti cinta. Zhafira tau itu?” Tanya Umi.

“Ya, Umi. Ana tau itu.”

“lalu? Bagaimana kelanjutannya? Apakah setelah itu sang ikhwan meluruskannya?”

“tidak, Umi. Hanya itu yang Ia katakan. Dia membiarkan ana tetap dekat dengannya dan berada disampingnya tanpa meluruskan atau menegaskan.”

Umi tersenyum kembali. “Setelah itu?”

“Setelah itu, semua berjalan seperti biasa, Umi. Tidak ada yang berubah. Tapi sebenarnya, ana punya sebuah dugaan. Ana tidak ingin mengungkapkannya kalau hanya masih menduga-duga. Ada sebuah nama akhwat yang ana duga akan menjadi calonnya pada saat itu.”

“dari mana anti tau tentang akhwat itu?”

“entahlah, Umi. Itu hanya feeling ana saja yang terkadang benar. Karena ana terbisa merunutkan fakta-fakta atau hipotesis satu persatu dan menguak kebenaran dari issue yang diduga tersebut. Tidak lama dari itu dugaan ana terbukti. Ia menyebutkan nama seorang akhwat dan nama akhwat itu adalah nama akhwat dugaan ana.”

“Lalu apa yang anti rasakan ketika diberitahu?”

Masih dengan mata yang sembab Zhafira menjawab “Perih Umi, hati ana tiba-tiba sesak. Semalaman ana menangis. Ana berusaha mengobatinya, ana tahajud, Umi. Sampai jam 3 ana belum bisa tidur juga. Ana tilawah, Umi. Berharap Alloh ringankan rasa sesak yang mengotori hati ana. Jam 4 pagi ana baru bisa tertidur, Umi dan terbangun ketika Adzan Subuh berkumandang”

“Ya Robb…..” Umi mendekap lagi muridnya itu. Seolah Iapun merasakan derita yang Zafhira rasakan saat itu.

“Dia katakan pada ana, bahwa setelah ini tidak akan ada yang berubah diantara kami. Interaksi kami akan tetap sama seperti dulu. Sebelum dia menyebutkan satu nama itu, dia meminta ana untuk berjanji agar tidak memutuskan komunikasi, ana menyetujuinya. Dan ana membuktikannya keesokan harinya. Ketika telpon itu berdering, tertulis nama ikhwan itu memanggil di HP ana. Ana tetap mengangkatnya dan tidak menunjukan kesedihan dalam diri ana. Ana tertawa diatas kesesakkan hati, ana tersenyum dikala hati ana menangis dan menjerit sejadi-jadinya”

Umi hanya diam, membiarkan Zafhira mengeluarkan semua beban fikirannya.

“ana tidak bisa, Umi. Tidak bisa seperti dulu lagi dengannya. Ana terus tersakiti ketika berinteraksi dengannya dan ana merasa itu tidak baik untuk hati ana. Lalu diam-diam ana memutuskan komunikasi dengannya. Ana bermaksud memulihkan hati ana secara utuh, ketika ana siap barulah ana akan membuka kembali komunikasi itu. Tapi dia terus-terusan mencari cara agar komunikasi itu terbuka segera mungkin. Itu membuat ana yang belum siap, terpaksa harus siap dan dipaksa untuk menerima.”

Zafhira kembali terisak.

“ana tidak ingin jadi jahat dan menyakiti hati orang lain dengan emosi ana yang tidak stabil, Umi”

“Apakah salah jika ana berusaha membentengi hati ana dari kebencian luar biasa kepada seseorang, kenapa dia tidak mau mengerti, Umi?”

Ditodong pertanyaan seperti itu, Umi hanya mengusap pundak Zafhira perlahan.

“tidak sayang, hanya sedikit kurang bijaksana”

“Umi benar, itu kurang bijaksana. Lalu Umi? Apa yang harus ana lakukan”

“Sayang, masalah hati itu ruwet sekali. Satu kasus yang sama belum tentu akan tepat sebagai solusi bagi hati yang berbeda dan karakter yang berbeda. Umi yakin Zafhira orangnya pemaaf dan tidak pendendam. Anti hanya terlalu mencintainya, terlalu besar rasa kehilangan yang anti rasakan sehingga anti belum mampu melupakan harapan anti untuk bersamanya hingga saat ini. Ikhlas, anti sudah punya itu. Anti sudah berusaha menerapkannya, anti tidak berusaha merebutnya dari akhwat pilihannya, itu tandanya anti sudah ikhlas. Hanya saja untuk sementara lebih baik anti memang tidak usah berinteraksi dengannya karena sifat anti yang selalu membiarkan saja ketika hati anti terluka lagi dan lagi karena dia. Itu tidak baik untuk kondisi hati anti”

Zafhira tertunduk, dalam diam dia berusaha mencerna kalimat tiap kalimat nasehat yang Ustadzahnya katakan.

Allahuakbar…. Allahuakbar…..

Adzan Maghrib dari mesjid rumahnya membuat lamunan Zafhira buyar. Ia pun beristighfar dan beranjak dari teras rumahnya, masuk kedalam dan segera menyambut seruan Ilahi Robbi..



 Bersambung………………………………

sendiri mencari bayangmu

Dialog dua hati Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Muammar Qaadfi

0 komentar:

Post a Comment

Tulis Komentar, Kritik & Saran ANDA