Kumpulan catatan temen-temen Facebook

6.18.2011

Dialog Dua Hati (Lanjutan)

oleh Dunia Biru Rinai pada 25 September 2010 jam 17:38
Dialog Dua Hati (lanjutan)
                                                                                                                                                    by: RZP

Cinta….
Alloh menganugerahkan rasa itu agar damai tercipta
Tentram dan damai yang terasa
Alloh menciptakan rasa cinta agar manusia saling kasih mengasihi
Agar sejahtera tercipta dimuka bumi

Cinta…, huuft…! Zafhira menghela napas panjang. Ia tak sanggup mendefinisikan cinta. Tak ada kata yang mampu melukiskan perasaannya kali ini. Zafhira lebih banyak berdiam diri, dan merenung. Jika rasa sesak itu kembali, ia coba usir dengan sejuta kesibukan yang akan membuatnya lupa waktu. Zafhira berusaha bangkit. Zafhira yakin, Alloh masih sayang padanya dan tak mungkin Ia tak mampu melewati masa-masa pemulihan dari rasa sesak yang mengotori hatinya. Ketika kebanyakan orang terlelap dalam buaian mimpi indah. Zafhira terjaga, Ia hanya ingin mengadu pada yang Maha Agung, Zat yang telah menciptakan rasa “cinta” didunia ini.
                                                                         ****

Sore itu, dipelataran Mushola Fakultasnya. Ketika berbincang-bincang dengan teman-teman sekampusnya. Rasa sesak itu kembali.
“Fir, kapan nih mau nyusul? Mbak Nana bentar lagi walimah. Nah, ba’da Mbak Nana anti ya? Biar ana gak ngasi pelangkahan sama anti. Gurau salah satu temannya.
Zafhira tersentak, sebuah kata yang Ia hindari untuk mendengar ataupun memperbincangkannya. Menikah, sederhana sekali kata itu, namun tidak untuk Zafhira Ia belum ingin berbicara tentang kata sederhana itu. Zafhira membalas gurauan temannya itu, hanya dengan tersenyum.
Didalam keramaian Zafhira tetap merasa sendiri. Terhitung sudah dua bulan Zafhira tidak berkomunikasi dengan ikhwan itu dan Zafhirapun tidak ingin tau, kabar apapun mengenai ikhwan itu.
Tepat jam 4 sore, selesai dari melaksanakan sholat Ashar berjama’ah bersama teman-temannya dikampus. Zafhira pamit pulang terlebih dahulu, Zafhira tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam perbincangan mengenai Mbak Nana. Karena saat ini, Zafhira belum bisa merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah pernikahan.
Sendiri Ia menelusuri jalanan menuju kosannya, tapi kakinya terlalu berat untuk menapaki jalan kearah kosannya. Dipersimpangan jalan itu, Ia mengurungkan niatnya untuk langsung pulang kekosannya. Zafhira membelokkan langkahnya. Ia berjalan menuju Masjid yang berada diujung jalan. Sesampainya di Masjid, Zafhira membasuh wajahnya dengan air, seeerr…. Rasa sejuk tiba-tiba menyeruak kedalam kalbunya. Zafhirapun berwudhu, Ia hanya ingin menghabiskan waktunya didalam Masjid sepanjang sore ini.
Ada banyak Ibu-ibu dan beberapa orang perempuan yang sedang beraktivitas didalam ruangan khusus akhwat Masjid itu. Ada yang duduk bersender sambil membaca Al-qur’an, ada yang tetap duduk disajadahnya dan berdzikir, ada yang mengerjakan sholat Ashar dan ada pula yang sekedar duduk dan berbincang dengan orang yang ada disebelahnya.
Sendiri, menyepi itu yang Zafhira pilih. Ia memilih sudut paling ujung dari ruangan itu. Zafhira ingin sendiri, bertemu dengan Robbnya. Setelah selesai melaksanakan sholat sunat. Zafhira hanya duduk diam. Fikirannnya terus mengembara, melakukan dialog hati, meminta petunjuk pada yang memiliki hatinya.
“Zafhira, Alloh Maha mengetahui apa yang terbaik bagi tiap-tiap hambaNYa sedangkan kamu tidak! Belum tentu yang dirimu anggap terbaik untukmu, baik dimata Alloh. Bisa jadi yang dirimu anggap terbaik bagimu itu buruk untukmu, dan lebih banyak mudoratnya untuk kehidupanmu dimasa yang akan datang. Yakinlah Zafhira, janji Alloh itu pasti! Wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Jadi, yang harus dirimu lakukan hanya memperbaiki diri. Tersenyumlah Zafhira! Jangan bodoh dan terus terpuruk dalam rasa kecewa yang tak seharusnya dirimu miliki. Siapalah dia sampai dirimu harus tersiksa begitu dahsyatnya hanya karena seorang anak manusia! Ya…, Seorang manusia Zafhira! Dia hanya manusia biasa, tak lebih. Cintamu bisa membunuhmu jika dirimu terus menyiksa diri seperti ini!” Zafhira terisak, airmatanya meleleh membasahi kedua pipinya. Kata hatinya mulai memprotes.
Lama Zafhira berdialog dengan hatinya sendiri. Logikanya terus mendesak agar Ia secepatnya bangkit dan tidak larut dalam kesedihan yang sebenarnya tidak berarti dan hanya menguras fikiran dan jiwanya saja.
Zafhira sudah merasa sedikit baikan sekarang, Ia segera merapikan mukenah berserta sajada yang Ia pakai. Dan ingin bergegas untuk pulang Karena hari semakin sore. Namun ketika Zafhira keluar dari Masjid, hujan yang menyambutnya. Zafhira tertekun sejenak dipelataran depan Masjid, Zafhira tersenyum, hatinya terasa hangat. Dalam hati Ia sampaikan pesan singkat pada Alloh, “Alhamdulillah terimakasih ya Alloh, hujanMU membuat rumput, pohon, bunga yang sedari siang gersang tampak indah mempesona memancarkan warna hijau berseri, hujanMu membuat gedung-gedung tua tampak tersenyum bahagia, terimakasih Ya Alloh hujanMu membuatku tersenyum. Inikah kado dariMU untuk semesta alam dan manusia seperti aku? Terimakasih untuk rahmatMu”
Ingin rasanya Zafhira menerobos guyuran hujan itu hingga sampai kerumah. Tapi karena hujannya terlalu lebat, Ia urungkan niatnya. Tidak seperti kebanyakan orang yang berteduh dipelataran depan masjid yang memilih untuk masuk kembali kedalam masjid atau duduk diteras dalam untuk meghindari percikan air hujan, Zafhira malah memilih berdiri didekat tiang Masjid. Dari sana Ia bias merasakan percikan air hujan menyentuh wajahnya dengan ceria seolah-olah hendak mengajaknya bermain bersama. Ia sengaja agak menengadahkan wajahnya kearah hujan yang terpantul dari atap masjid. Perlahan Zafhira memejamkan matanya, menikmati sentuhan air hujan diwajahnya. Lama ia berdiri seperti itu. Sampai ada suara yang membuyarkan keasikannya
“Maaf, Mbak. Kalau mau ke GreenHill naik apa ya?”
Zafhira tersentak, sedikit dikagetkan. Secepatnya Zafhira membuka mata dan mencari sumber suara tersebut.
Seorang laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Zafhira menyapanya. Laki-laki itu mengenakan Jaket bewarna Biru muda, berkacamata, dan sepan lepis warna Biru Tua. Sepintas penampilannya agak awut-awutan, seperti seorang pemain Band yang tidak peduli dengan penampilan.
“Maaf Mbak, kok malah bengong? Saya nanya, kalau mau ke GreenHill naik apa ya Mbak. Saya baru datang dari luar kota jadi agak kurang faham?”
“eh…. Anu…, maaf, maaf. Naik oplet warna Biru Mas. Entar bilang aja sama Pak sopirnya mau ke GreenHill.” Jawab Zafhira setengah tergagap.
“Oh, gitu ya. Makasih ya Mbak”
“Ya, sama-sama Mas.”
“Mbak suka hujan ya?”
“Eh…, maaf. Apa mas?” zafhira terkaget.
“Saya dari tadi memperhatikan Mbak yang asik menikmati hujan sore ini. Sepertinya Mbak sangat menyukai hujan” Komentar Pemuda itu.
Zafhira tersipu malu, pipinya memerah. Ia tidak menyapa aksinya menikmati hujan dipergoki oleh orang lain.
“Iya Mas, sangat malah” jawabnya dengan sopan dan tersenyum.
“Kuliah di UNSRI ya?”
“Oh, iya. Kok tau?” Tanya Zafhira penuh keheranan.
“Tuh! gantungan kunci ditasmu itu. Lambang UNSRI” jawab pemuda itu dengan senyum.
Zafhira hanya membalasnya dengan tersenyum kemudian diam lagi.
Hujan kemudian berhenti, dan Zafhira harus segera pulang karena matahari senja akan segera menghilang. Bertanda maghrib kan menjelang. Sebelum melangkahkan kaki keluar dari pelataran Masjid itu. Zafhira menoleh sejenak kearah pemuda disampingnya dan berkata “mari Mas, duluan”
Pemuda itu hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kepala tanda mempersilahkan.
                                                                                                   ****

warna-warna cinta yang terlukis dihatimu, akan mewarnai jiwamu yang tulus. Seperti sang pelangi selepas gerimis….. alunan lagu tim nasyid Brother mengalun dari ponsel Zafhira.
Zafhira menatap layar ponselnya. Bunda Calling…..
Segera Zafhira mengangkat ponselnya.
“Assalamualaikum, Bunda?”
“Wa’alaikumsalam Fira. Fira mingggu nanti kamu pulang kerumah ya. Ada sesuatu yang Bunda ingin bicarakan denganmu”
“Loh, kenapa gak lewat telpon saja Bunda? Kan bisa?”
“Bunda ingin bicara langsung sayang”
“Baik Bunda, Fira usahakan untuk pulang”
“Suda dulu ya sayang, Jaga diri baik-baik disana. Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam wr wb”
Heran, tidak biasanya Bunda memintanya pulang mendadak seperti ini, gumam Zafhira dalam hati. Apakah terjadi sesuatu? Astaghfirullah… Zafhira segera beristighfar menepis fikiran negatife dalam benaknya. Mungkin Bunda hanya kangen.
***
Hari minggu yang dinanti telah tiba. Menggunakan Travel antar kota Zafhira berangkat jam 10 pagi dan tiba dirumahnya sekitar pukul 5 sore, setelah 6 jam dalam perjalanan.
Setibanya dirumah. Ia disambut oleh Bunda dan Ayahnya. Bunda memeluknya dengan erat begitu pula dengan Ayahnya. Lirih Bunda berbisik, Sikecil Bunda sekarang sudah besar. Rasa haru tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Ada apa dengan Bunda, kenapa berkata seperti itu, tanyanya dalam hati.
Setelah masuk kerumah, Zafhira langsung menyelonong masuk kedalam dapur rumahnya. Ia rindu masakan Bunda. Apapun yang Bunda masak rasanya pasti enak, begitu gumamnya dalam hati. Zafhira langsung duduk didepan meja makan dan mengambil piring dan menyantap masakan Bunda. Bunda yang sedari tadi menemaninya disamping, hanya tersenyum saja melihat tingkah putri kesayangannya itu.
Sore itu Ia habiskan untuk melepas kerinduannya akan keluarga dan Desa tempat Zafhira dibesarkan. Sholat Berjama’ah, makan bersama, bercanda dan saling bertukar cerita. Zafhira tidak lagi ingat akan lukanya, yang ada sekarang adalah kehangat keluarganya.
Dari balkon rumahnya Zafhira menatap langit malam. Langit tampak tak ceria malam ini. Tak ada bintang yang terlihat oleh mata Zafhira. Ketika sedang asik mengamati langit, Bundapun mendekati Zafhira dan duduk disamping Zafhira.
“Sayang…..,”
“Ya”
“sekarang Zafhira sudah besar, sudah cukup umur untuk menikah”
Zafhira tersentak, Zafhira diam mematung. Ia tak menyangka Bunda akan berbicara mengenai itu.
“Bunda, memanggil Zafhira pulang kali ini. Untuk membicarakan hal itu?” Tanya Zafhira dengan hatti-hati.
Bunda tersenyum sambil mengusap kepala Zafhira yang mengenakan kerudung putih. Tersenyum, Bunda menjawab “Iya Sayang”
Zafhira hanya diam.
“Beberapa hari yang lalu, teman Ayahmu dating kerumah. Ia menyatakan tujuannya datang kerumah adalah meminangmu untuk anaknya Huda. Kamu masih ingatkan? Huda temanmu semasa kecil dulu?”
“Huda? Huda yang kakak kelas Fira dulu Bunda? Anak Pak Sarwandi?”
“Iya, sayang. Huda yang itu.”
Huda, Zafhira mencoba mengingat kembali wajah sahabat sewaktu kecilnya dulu. Tapi sia-sia Zafhira tak mampu membayangkan seperti apa wajahnya sekarang. Sudah 8 tahun sejak Huda dipindah sekolahkan oleh kedua Orang tuanya kepulau Jawa. Sejak itu Zafhira tak lagi mendengar kabar atau mengetahui keberadaan temannya itu. Hanya sedikit memori yang Ia ingat. Huda anaknya badung, nakal sepertti kebanyakan anak lelaki pada usianya. Huda sering sekali menjahili Zafhira, Karena Zafhira mudah sekali menangis.
Zafhira ingat waktu itu, salah satu teman sekelas Zafhira menyembunyikan kotak pensil berbentuk kodok kesayangannya. Zafhira waktu itu menangis seharian dan ngambek tidak mau belajar. Ibu guru yang mengajar sampai kebingungan menghadapinya. Jam istirahat berbunyi, Zafhira tidak pergi kekantin dan menyantap sarapan yang disediakan kantin sekolahnya. Ia tetap berada dikelas dan sibuk melihat laci bangku temannya satu persatu untuk mencari dimana kotak pensil kodok kesayangannya disembunyikan. Betapa terkejutnya Zafhira ketika Ia melihat bahwa kotak pensil kodoknya berada diatas patung bangau ditengah kolam disamping kelasnya. Zafhira menangis tersedu-sedu. Karena Ia tak mampu menjangkau tepian patung itu dan tidak berani turun kekolam karena Ia tidak bisa berenang. Untuk ukuran anak SD kelas 5, kolam itu cukup dalam. Zafhira pasrah dan duduk diam dibangkunya sambil terisak-isak. Sementara teman-teman sekelasnya sudah kembali dari sarapan dikantin dan mengejeknya dengan kata-kata “anak cengeng, anak ingusan”. 
Sampai bel  tanda pulang sekolah berbunyi Zafhira masih saja terisak. Dan dengan berat hati Zafhira melangkah menunggu dihalte sekolah. Menunggu mobil jemputannya.
Tiba-tiba…..
“ini untuk Zafhira” sebuah tangan mungil yang basah mengulurkan sesuatu kearah muka Zafhira.
Mata Zafhira yang sembab, menatap benda ditangan bocah itu dengan berbinar.
“Keropiiiiiiiiiii……!” teriak Zafhira kegirangan.
Segera Ia ambil benda itu dari tangan bocah itu. Keropi begitu Zafhira memanggil kotak pensil berbentuk kodok miliknya. Zafhira menatap bocah yang kaki, dan baju seragamnya penuh dengan Lumpur.
“Abang!” Serunya tidak percaya.
Bocah laki-laki itu hanya tertawa dan nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang rata.
“Fira jangan nangis lagi. Jangan mau ditindas sama temen-temen yang lain. Fira itu hebat, Fira itu kuat, Fira itu superhero! Harus bisa jaga diri sendiri dan menjaga yang Fira sukai. Abang gak suka Fira nangis, Fira mirip kodok kalau lagi nangis” celoteh Bocah itu sesukanya.
Itulah terakhir kalinya Zafhira melihat Huda. Besoknya saat Fira ingin mengajak Huda untuk makan bekal buatan Bunda bersama, Fira hanya mendengar dari Ibu guru jika mulai hari itu Huda tidak lagi bersekolah disana.
“Fira… Fira…” suara Bunda Zafhira membuyarkan lamunannya.
“Iya, Bu?”
“jadi bagaimana? Bunda tolak atau terima?”
“Entahlah Bu, Fira belum berfikir untuk menikah dalam waktu dekat ini. Boleh Fira pikir-pikir dulu?”
“Tentu boleh sayang.”
                                                                                         ****

Zafhirah merebahkan tubuhnya diatas kasur dikamarnya. Zafhira menghela napas panjang. Ia berkata pada dirinya sendiri “menikah”. Dan airmata itupun tanpa izin, sesukanya saja mengalir keluar.
Zafhira tau, ia harus menatap masa depan. Tidak bias terus-terusan menghindar seperti ini. Maafkan Fira, Bunda. Untuk saat ini Fira tak mau memikirkannya. Kemudian Zafhira terlelap dalam kasih Ilahi.
Keesokan paginya Zafhira berpamitan kepada kedua orangtuanya karma ia harus segera kembali kekota, tempat Ia menuntut ilmu.
“Fira kalau sudah ada jawabannya segera beritahu Bunda. Begitu pesan Bunda sesaat sebelum Travel antarkota itu berangkat.
***

Akhir-akhir ini Umi lihat anti banyak termenung Fira” Sapa Umi yang menganggetkannya.
“Eh, Umi. Sudah lama datang?”
“baru saja saying. Ada cerita apa kali ini”
Zafhira sengaja menelpon Umi untuk bertukar fikiran tentang lamaran sahabat Ayahnya.
“Umi, kemarin saat Ana pulang kerumah. Ibu ana menyampaikan kalau teman Ayah bermaksud meminang anak ana untuk anaknya”
“Alhamdulillah, Barakallah saying” timpal Umi dengan senyum cerah
“ana mengenalnya, dia teman ana sewaktu kecil. Delapan tahun kami tak bertemu karma dia pindah sekolah dipulau jawa”
“lalu? Anti masih ragu. Istikhorohlah jika anti ragu”
“Iya, Umi. Ana tau. Sekarang Ana belum lakukan itu Umi”
Umi kaget mendengar kata-kata terakhir Zafhira
“kenapa? Kenapa Fira belum melakukan istikhoroh?”
“hati ana Umi, sepertinya ana masih butuh waktu Umi”
“Astaghfirullah…., anti tidak boleh seperti ini. Anti merana dengan memikirkan dia. Sedangkan dia mungkin tidak sama sekali. Anti susah makan dan tidak bergairah dalam beraktifitas, sedangkan dia mungkin sedang tertawa dan bahagia menanti detik-detik terpenting dalam hidupnya.”
Bagai air bah, air matanya menyeruak keluar, membanjiri pipi Zafhira. Untuk kesekian kalinya Zafhira kembali terisak dan menangis. “maafkan Ana, Umi. Maafkan”
Dua insan itu terdiam sejenak. Zafhira larut dalam tangisnya. Umi larut dalam fikirannya untuk membantu muridnya ini.
“menikahlah Fira. Menikahlah mungkin dengan itu rasa sesak dihatimu mampu terhapus, seperti debu yang mengotori jalan dan dibersihkan oleh air hujan”
“mungkin Umi benar” jawabnya disela isak dengan lirih.
“atau anti ingin Umi yang mencarikan?”
Sambil menyeka air matanya, Fira diam sejenak dan menjawab “ana akan istikhoroh untuk teman Ayah itu Umi”
Umi tersenyum lega “Syukurlah kalau begitu. Kapanpun anti membutuhkan Umi. Insya Allah Umi siap membantu”
“terimakasih umi. Terimakasih banyak” Zafhira mendekap erat Umi.
                                                                                  ****

Setelah hari itu Zafhira mulai istikhoroh namun sampai hari kelima. Ia tetap tidak menemukan kemantapan hati. Ia hanya bermimpi peristiwa didepan pelataran masjid saat itu, lelaki dengan kemeja Biru Muda, berkacamata, dan Berpenampilan sederhana. Sedikit berbeda dengan kejadian nyata saat itu, karena Pemuda itu berpenampilan sama tapi tidak awut-awutan. Setiap kali terbangun esok paginya Zafhira selalu beristighfar. Ia takut jika syaitonlah yang menghembuskan mimpi itu dalam tidurnya.
Hanya bertemu satu kali saat itu dan tidak sengaja, kenapa pemuda itu muncul terus menerus dalam mimpiku, Ya Robb… skenario apa yang sedang kau rancang untukku. Gumam Zafhira dalam hati.
Siang itu usai dari perkuliahan. Zafhira diajak temannya dalam kajian Tafsir diFakultas Teknik. Dengan langkah enggan Zafhira menemani temannya itu. Tidak ada yang membuat Zafhira tertarik. Karena hari ini, Ia sebenarnya ingin pulang kekosan dan istirahat sampai sore.
Pembicara, Abdurrahman Al-huda, Lc. Sekilas mata Zafhira menangkap tulisan besar dipamflet yang tertempel didepan pintu ruangan Teknik yang akan digunakan sebagai tempat acara. Zafhira tidak terlalu mempedulikan tulisan itu, hanya selintas dalam fikirannya “Lulusan Al-Azhar pembicaranya. Mari kita lihat bagaimana Ia mampu menyampaikan materi kepada audiens atau membuat audiens menguap karena bosan” Zafhira tersenyum dalam hati.
Zafhira dan temannya memilih bangku sebelah kiri, baris ketiga dari bawah, bangku yang ditengah, ini agar Ia mampu dengan jelas melihat slide yang mungkin akan digunakan ustad dalam menyampaikan materi.
15 menit kemudian acarapun dibuka, dimulai dengan pembacaan kalam Ilahi dan sedikit cuap-cuap dari sang MC, tak lama berselang Pemateri pun tiba ditengah ruangan dan MC digantikan dengan moderator yang akan memimpin materi berlangsung selama satu jam kedepan.
Zafhira yang sedari tadi asik dengan buku bacaannya dan tidak memperhatikan panggung, terusik dengan bisik-bisik dari akhwat yang duduk disebelahnya. “Ustadnya masih muda nih”
Zafhira sebenarnya tidak ingin ikut-ikutan memperhatikan akan tetapi Zafhira akhirnya penasaran juga, dan memberanikan diri untuk mencari Ustad yang menjadi Pembicara hari itu.
Zafhira terkejut dan tidak percaya dengan apa yang Ia lihat saat ini. Yang sedang berbicara didepan dan menyampaikan materi. Yang bernama Ustad Abdurahman Al Huda, Lc adalah pemuda yang menegurnya dipelataran masjid saat hujan sore itu.
“Subhannallah…,” sekilas Ia memperhatikan sangat berbeda dengan saat pertama bertemu. Jauh lebih rapi, seperti dalam mimpinya. Skenario apa yang sedang kau mainkan Ya Ilahi, gumam Zafhira dalam hati.
Tidak terasa satu jam berlalu, sesi Tanya jawab telah usai dan acarapun berlalu dengan cepat. Ruangan dibuatnya bertepuk gemuruh karena Audiens puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Sang Ustad. Selesai acara Ustadpun segera undur diri, tidak ada kesempatan untuk Zafhira untuk mendekat dan bertanya. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk sekedar menatapnya saat pemuda itu memaparkan materi.
Malam ini, diatas sajadah yang dibentangnya. Zafhira kembali mengadu kepada Zat yang memilikinya seutuhnya.
Besok Zafhira harus pulang keDesa dan bertemu dengan keluarga teman Ayahnya dan Huda. Zafhira merasa hatinya begitu berat, apalagi setelah Ia kembali dipertemukan dengan pemuda itu.
“Ya Robb, engkaulah yang Maha membolak-balikkan hati ini. Mak jagalah hatiku ini agar tetap meletakkan cinta kepadaMU diatas cintaku kepada anak manusia”
Detik-detik sebelum Zafhira berangkat keDesa. Ponsel Zafhira berdering, nama sang ikhwan yang tertera. Ada keinginan untuk tidak usah mengangkatnya saja. Tapi Zafhira tidak ingin egois. Ia mengangkat telpon itu.
“Assalamualaikum, Ukhti”
“walaikumsalamwrwb, ada apa?”
“Apa kabar anti?”
“Ahamdulillah, baik”
“kemana saja anti? Beberapa bulan ini. Ana tak mendengar kabar tentang anti?” Tanya ikhwan itu.
“tidak kemana-mana. Hanya sedang sibuk kuliah saja”
“Oh,,, sesibuk itukah” guraunya dari seberang sana
“kalau ada waktu, main-mainlah ketaman bacaan kakak. Kakak kehilangan pelanggan setia nih.” Lanjutnya
“Insya Alloh, nanti kalau ada waktu. Maaf kak, lain kali disambung lagi ya. Ana lagi ada kerjaan, wasalam” dengan segera Zafhira mengakhiri percakapan itu.
Kumohon mengertilah wahai ikhwan, hatiku ini bukan tempat kalian ujicoba. Mendekati dan mencari-cari mana yang cocok kemudian memilih. Hatiku ini bukanlah permainan, hatiku ini seputih salju dan selembut sutera. Hatiku mudah terluka, dan amat mudah tersentuh.
Yakinlah Zafhira Alloh lah yang Maha mengetahui yang terbaik bagi hambanya.  Jangan sampai Alloh mempersatukan kalian bukan dengan rahmat dan karena bentuk kasih sayangnya, tapi karena Alloh marah padamu, marah karena rasa yang kau milikku itu belum seharusnya ada dihatimu. Sepanjang jalan menuju Desanya Zafhira berfikir, mencoba mendamaikan antara hati dan logikanya. Ayo koreksi kembali niatmu Zafhira. Kenapa kau mencintainya? Dan apa yang membuatmu tak mampu melepaskannya hingga saat ini? Bukankah hakikatnya bukan siapa tapi karena apa dan bagaimana psosesnya. Ya, bukan karena siapa Zafhira. Bukan karena dia, tapi karena Alloh Zafhira. Bukankah Rasulullah mengajarkan untuk memilih pasangan karena agamanya Zafhira. Tidaklah penting dia itu siapa, ikhwan A, ikhwan B ataupun ikhwan C yang terpenting adalah karena dia Soleh dan taat beribadah.
Ikhlas Zafhira, sabar… Allah pasti menggantikannya dengan yang lebih baik. Jangan terlalu memaksakan kehendakmu.
Kini Zafhira telah menaiki mobil travel antar kota yang biasa Ia gunakan untuk pulang kampong. Zafhira memilih bangku yang berada dibelakang sopir. Wajah Zafhira memandang kearah kaca mobil disebelahnya. Ia menatap jalanan yang lenggang. Tak lama menungggu, mobil travel yang Ia tumbangipun melaju perlahan. Zafhira mengambil iPod dari dalam tas ranselnya. Ia hanya ingin tidur pulas sepanjang jalan menuju rumahnya, Ia ingin fikirannya rileks dengan mendengar lagu-lagu kesukaannya.
Tuhan…., pemilik nyawaku. Betapa lemah diriku ini, berat ujian dariMu. Kupasrahkan semua padaMU…. Kata-kata cinta terucap indah mengalir berdzikir dikidung doaku. Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku. Butir-butir cinta, air mataku teringat semua yang kau beri untukku. Ampuni khilaf dan salah selama ini ya Ilahi… Muhasabah cintaku
Menetes perlahan air mata Zafhira, lagu Edcoustic, muhasabah cinta. Membuat air matanya kembali menangis. Ya Robbi, ajarkan aku cinta suci karenaMU.
Dimalam penuh bintang, diatas sejadah yang ku bentang sedu sedan sendiri. Mengadu pada yang maha kuasa…. Dibawah sinar bulan purnama kupasrahkan semua keluh kesah yang aku rasa. Sesak dadaku menangis pilu., saat kuurai dosa-sosaku… dihadapanmu ku tiada artinya. Doa kalbu tak bisa aku bendung deras bak hujan digurun sahara, hatiku yang resah terasa oh tentram. Hanya engkau yang tau siapa aku. Sucikanlah seperti malam ini suciikan diriku selama-lamanya. Lagu do’a qalbu yang dilantunkan oleh Bang Fika pun mengalun dengan syahdu ditelinga Zafhira.
“Tissue Mbak?” tiba-tiba ada tangan yang menodongkan sekotak tissue padanya.
Zafhira menyeka air matanya “tidak terimkasih, Mas. Mata saya kemasukan sesuatu, jadi perih dan berair.
Lelaki itu tersenyum dan berkata “wah, kelilipan aja air matanya kayak anak sungai deras sekali. Gimana kalau nagis beneran bias banjir nih mobil”
Ada sedikit rasa jengkel dalam hatinya, “nih orang siapa sih, resek!” gumamnya dalam hati. Zafhira melirik sedikit kearah sumber suara.
“Astaghfirullah!” tidak sengaja kalimat istighfarlah yang terlontar pertama kali ketika Zafhira melihat wajah pemuda itu. jantung Zafhira berdetak dengan kencang, tak beaturan.
“waduh, abis liat Syetan ya Mbak?? Kok pakek istighfar segala?” guraunya dengan ramah.
Pemuda yang duduk disampingnya saat ini adalah Abdurrahman Al-huda,Lc. Pemebicara dalam acara tafsir Al-Qur’an diFakultas teknik beberapa waktu yang lalu. Sang pemuda yang bertanya arah jalan padanya, Sang pemuda yang muncul dalam mimpinya akhir-akhir ini. Lama Zafhira tertegun. Tapi Zafhira beusaha untuk segera mengendalikan keadaan.
“Mbak…, hallo…, Mbak? Kok diem?” suara sang pemuda itu memecahkan lamunannnya.
“Eh, nggak. Maaf”
Pemuda itu tersenyum, seraya mengulurkan tangannya dan berkata “Perkenalkan nama saya…”
“Abdurrahman Al-huda, Lc.” Celetuk Zafhira tiba-tiba.
“Wah, Mbak punya indera keenam ya? Saya belum kasih tau nama saya loh”
“Kemarin saya hadir dalam acara tafsir yang kebenaran anda salah satu pembicaranya” jawab Zafhira sekenanya.
“Mm…, begitu.”
Zafhira kembali diam, ia tak mennunjukan sedikitpun kespresi ingin berbincang. Ia ingin segera mengakhiri percakapan itu dan terlelap sampai Zafhira sampai didepan rumahnya.
“Mbak lagi ada masalah ya?” Lanjut sang Pemuda.
“Tidak, tidak ada” jawab Zafhira
“benarkah?”
Ingin rasanya Zafhira berkata pada Sang Pemuda “maaf Mas, Saya tidak ingin berbincang. Saya ingin tidur” tapi ia urungkan niatnya itu.
“Ya, tidak ada”
“Cobalah berbagi dengan oranglain siapa tau dia bisa membantu” desak pemuda itu kembali.
Ya Robbi…, harus kuapakan pemuda ini agar Ia mengerti aku tak mau diganggu. Zafhira kembali menyeloteh dalam hati.
“Ok! Saya memang punya masalah. Saya pulang kampong untuk dijodohkan” jawab Zafhira sedikit sewot.
“Mm…, begitu? Lalu? Apakah anda menyetujuinya? Atau anda sudah memiliki calon”
Menangkap raut wajah Zafhira yang semakin tidak bersahabat pemuda itu melanjutkan kata-katanya. “Maaf, saya hanya ingin sekedar tau. Kalau tidak mau cerita ya tidak apa-apa. Saya tidak memaksa Mbak”
“Maaf mungkin saya yang terlalu emosi. “Saya tidak tau jawabannya, Belum lama ini saya punya masalah hati, saya terluka. Kemudian tiba-tiba Ibu menjodohkan saya dengan teman lama saya. Saya sudah tidak terlalu peduli dengan hati saya yang terluka. Tapi setelah istikhoroh, ada orang lain yang muncul dalam mimpi saya.”
“kenapa tidak ditolak saja lamaran teman lamamu itu?”
“tidak tau, Ustad. Saya tidak punya keberanian untuk menolak.”
“bagaimana dengan orang yang muncul dalam mimpimu? Sudah Mbak ceritakan padanya perihal mimpi Mbak?”
“belum, Ustad. Sepertinya saya tidak bias mengatakan kepadanya. Saya tidak mengenalnya. Pertemuan kamipun tidak disengaja, dan setelah itu saya pernah melihatnya juga, sama seperti pertemuan pertama terjadi dengan tidak disengaja. Lagipula setelah saya pikir, mungkin saya tidak pantas untuk mengajukan diri padanya. Saya bukan Siti Khodijah.” Jawab Zafhira dengan nada yang jauh lebih tenang.
“kalau begitu sampaikan saja pada orang yang akan dijodohkan kedua orangtuamu tentang mimpimu. Jika dia memang seorang ikhwan yang baik akhaknya. Maka dia akan menghormati apapun jawabanmu”
Zafhira terus mengingat  kalimat yang Ustad Abdurrahman katakan setibanya dirumah. Sudah Zafhira putuskan, Ia akan mencoba mengatakan ikhwal mimpinya pada Huda.
                                                                                   ****

Keesokan paginya tepat pukul 9 pagi, Mobil avanza berwarna silver memasuki pekarangan rumah Zafhira. Zafhira tidak menyambut tamu istimewa itu dipintu depan, karena Zafhira diminta Bunda untuk menyiapkan jamuan untuk mereka dihalaman belakang rumahnya.
Tak lama kemudian Bunda membawa tamu istimewa itu ketempat jamuan yang telah disiapkan. “Fira…” panggil Bunda lembut.
“ya Bun……da” saut Zafhira dengan tergagap.
“ustad Abdurrahman?” Tanya Zafhira dengan penuh keheranan.
Abdurrahman Al-huda, Lc adalah Abang Huda, teman semasa kecilnya dulu. Entah apa yang harus Zafhira ucapkan, syukur, puji-pujian atas kebesaran Alloh. Rasa bahagia, sedih sekaligus haru menyelimuti raganya. Jiwanya gemetar. Menatap dengan penuh ketidak percayaan. Inikah jawaban dari istikhorohnya selama ini.
Kedua orangtua mereka saling berbincang dengan kehangatan dan disana ada sepasang kekasih yang terdiam seribu bahasa.
Tiba-tiba Huda menyela pembicaraan kedua orangtuanya. “Maaf Ma, Pa. Bolehkah Huda berbicara dengan Zafhira berdua saja?”
“Mau bicara apa nak? Boleh saja asal ditempat yang terbuka, dan tidak menyepi ya” gurau Pak Sarwandi, Papa Huda.
Huda tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.
Zafhira memilih tempat diruang tengah, dimana kedua orangtua mereka masih bias melihat jelas keberadaan mereka dari tempat mereka duduk sekarang.
“Maaf, Dik Fira” mulai Huda.
“Masih bolehkan, Abang memanggilmu Adik, seperti dulu Abang memanggilmu”
Zafhira hanya tertunduk diam. Zafhira sedang berusaha menyembunyikan rasa bahagia yang ingin segera meluap dari dalam dirinya. Ia berusaha agar debaran jantungnya tak terdengar oleh pemuda yang sedang berada dihadapannya.
“Seperti yang Dik Fira ceritakan kemarin didalam mobil travel. Bolehkah Abang tau siapakah lelaki itu? Abang akan meminta Papa untuk mengurungkan niatnya meminangmu untuk Abang. Abang tidak ingin Dik Fira terpaksa menerima pinangan Abang”
Zafhira tersontak, kaget mendengar penuturan pemuda dihadapannya itu. Abang mengira pemuda itu bukanlah Abang tapi oranglain. Astaghfirullah, istighfarnya dalam hati.
“jangan diam saja Dik. Abang tidak akan marah. Abang akan melamarkannya untukmu”
“Benarkah Abang rela jika saya menikah dengan orang lain?”
“Jika itu untuk kebahagiaanmu, Insya Alloh atas izin Alloh Abang rela.”
Zafhira tersenyum lalu berkata, “Maafkan Fira Bang, Fira sudah berusaha melupakan sosoknya tapi semakin Fira mencoba, ia semakin jelas muncul dalam mimpi Fira. Pemuda itu yang muncul dalam mimpi Zafhira mengenakan kemeja Biru, berkacamata dan rapi. Kami pertama kali bertemu dipelataran Masjid dekat kosan Fira. Kemudian sisebuah acara Firapun bertemu dengannya.”
Sejenak Zafhira menghentikan kata-katanya dan memasang wajah sedih Zafhira menyebutkan sebuah nama “ diacara itu akhirnya Zafhira tau siapa namanya, namanya Abdurrahman Al-huda, Lc"  Usai menyebutkan nama itu Zafhira tersenyum. Zafhira ingin sedikit menggoda teman masa kecilnya itu.
Huda tercengang dihadapan Zafhira, Ia tidak merasa bahwa Ia sedang bermimpi saat itu.
“Maaf Dik, jangan main-main” ucapnya tidak percaya.
“Tidak Bang, Zafhira tidak sedang bercanda. Abanglah yang muncul dalam mimpi Fira. Awalnya Firapun merasa itu tidak mungkin, karena Fira tidak mengenl Abang yang mengenakan jaket Biru muda, berkacamata, sepan jin dan benampilan yang awut-awutan. Delapan tahun kita tak berjumpa. Fira benar-benar tidak ingat seperti apa wajah Abang. Abang jauh berubah. Abang dulu gemuk, dan chubby dan Zafhirapun tidak terlalu ingat siapa nama panjang Abang. Karena Abang kakak kelas Fira.” Fira tersenyum simpul malu. Hatinya diselimuti suka jika saat ini.
Begitu pula Huda, Ia tak menyangka jika akhirnya Alloh berkenan menyatukan hatinya dan Fira.

Bertasbihlah cinta terukir dihatiku, Seindah samudera senja berkilau membentang, Cinta yang sejati yang tersandar di hati, Berlabuh menepi satukan karna Ilahi, Malam penuh doa penawar rindu kasih, Munajatkan maha cinta diatas cinta, Jika memang takdir cinta pasti bertemu, Meski kau dan aku ada di ujung dunia. Ketika cinta bertasbih bagai cah ’ya tak bertepi, Anugerah terindah itu yang ku impikan, Harapanku tambatkan disetiap sujud malamku, Tuhan bimbing cintaku cinta karna Ilahi,

>>>SELESAI<<<

  • ketika dirimu menggenggam erat cinta yang kau fikir adalah milikmu, sesungguhnya kau masih bersifat kekanak-kanakan. untuk apa kau genggam erat cintamu jika suatu saat Ia tak bahagia bersamamu. Bukankah tak semua cinta itu harus memiliki. bisa jadi ketika kau menggenggam erat dirinya, Ia tak merasa nyaman disisimu dan merasa tersakiti dengan genggamanmu yang semakin lama semakin kuat saja. Lepaskanlah Ia, serahkan semua pada Ilahi. Sungguh skenario Alloh itu lebih indah.
  • Sungguh bukan karena dengan siapa, tapi karena Ilahi Robbi, karena itu bisa membuatnya mati jika bukan karena Alloh.
Alloh jualah yang mempersatukan sepasang hati, dan atas kehendaknya

Dialog Dua Hati (Lanjutan) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Muammar Qaadfi

0 komentar:

Post a Comment

Tulis Komentar, Kritik & Saran ANDA